BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan
kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha / pemberi kerja yang
terjadi setelah adanya perjanjian kerja.Oleh karena itu hubungan kerja
merupakan hubungan hukum antara pekerja dan pemberi kerja, yang terikat dengan
adanya perjanjian kerja.
Masa
pembangunan nasional sekarang ini faktor tenaga kerja merupakan sarana sangat
dominan di dalam kehidupan bangsa.Landasan Konstitusional yang mengatur
ketenagakerjaan telah dituangkan pada pembukaan dan batang tubuh undang-undang
dasar 1945.Perihal isi ketentuan dalam batang tubuh yang ada relevansinya
dengan masalah ketenagakerjaan, terutama ditentukan dalam pasal 27 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Di
negara kita republik Indonesia di dalam segi kehidupan ketenagakerjaan
terbentang berbagai masalah dan kendala. Misalnya tentang kesenjangan antara
semakin membengkaknya jumlah pencari kerja dengan sedikitnya kesempatan kerja
yang tersedia, kurang tersedianya tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman
Bentuk
kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dilakukan melalui
pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja.Karena dengan adanya perjanjian
kerja diharapkan para pengusaha atau majikan tidak lagi memperlakukan para
pekerja dengan sewenang-wenang, memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa
memperhatikan kebutuhan para pekerja serta ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Di
dalam perjanjian kerja diletakkan segala hak dan kewajiban secara timbal balik
antara pengusaha / majikan dan pekerja. Dengan demikian kedua belah pihak dalam
melaksanakan hubungan kerja telah terikat pada apa yang mereka sepakati dalam
perjanjian kerja maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku
Suatu
perjanjian kerja, baik dalam bentuk sederhana maupun secara formal. Hubungan
kerja sebagai realisasi dari perjanjian kerja, hendaknya menentukan kedudukan
masing-masing pihak pada dasarnya akan
menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha / majikan terhadap
pekerja secara timbal balik.
Memasuki
abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir
bernamaimperialisme (kerajaan kapital monopoli dalam skala dunia). Dan ketika
panah waktu bergerak keabad ke-21, kita menjadi saksi hidup dari krisis demi
krisis yang menimpa imperialisme yang kiankronis. Seiring perkembangan waktu,
kapitalisme semakin tua dan tidak cocok dengan semangatpembaruan zaman lagi.
Akar dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme itu
sendiri;overproduksi barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan
militer, krisis energi karenakerakusan mereka sendiri, krisis keuangan
(financial) karena praktek manipulasi mereka sendiri,anarkhi produksi serta
perebutan pasar dunia bagi barang komoditas di kalangan kekuatanimperialisme
sendiri juga termasuk dalam praktek outsourcing yang dikatakan “tidak pro
buruh”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang menjadi ketentuan hukum dalam
perjanjian kerja?
2.
Apa yang menjadi kewajiban-kewajiban
pihak dalam perjanjian kerja yang sudah disepakati itu?
3.
Apakah praktek outsourcing boleh diterapkan
dalam ketenagakerjaan?
4.
Apa akibat hukum pelanggaran praktik
outsourcing?
C. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui ketentuan hukum dalam
perjanjian kerja
2.
Menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak
dalam perjanjian kerja yang sudah disepakati
3.
Mengetahui penerapan outsourching dalam
ketenagakerjaan
4.
Mengetahui akibat hukum pelanggaran
praktik outsourcing
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Hukum dalam Perjanjian
Kerja
1.
Pengertian
Dalam
suatu perjanjian tentunya ada para pihak yang melakukan perjanjian
tersebut.Begitu juga halnya dengan perjanjian kerja, dalam perjanjian kerja
pihak-pihak itu adalah pekerja dan pemberi kerja (pengusaha / majikan).Dalam
undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan menyebutkan pekerja
adalah “tenaga kerja yang bekerja diluar maupun di dalam hubungan orang atau
badan hukum yang mempekerjakan buruh”.Di sini yang dimaksud dengan buruh adalah
pekerja.
Hubungan
antara pihak-pihak dalam ketenagakerjaan tidak dapat diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak (pekerja dan pemberi kerja), apalagi dalam hal terjadinya
permasalahan dalam hubungan kerja.Tujuannya adalah untuk menciptaka keadilan
sosial di bidang ketenagakerjaan. Karena dapat dipastikan pihak yang kuat akan
selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homoni lupus). Atas dasar inilah
pemerintah perlu turut serta dalam masalah ketenagakerjaanmelalui peraturan
perundang-undangan yang menjadi objek keikutsertaan pemerintah terutamanya
menyangkut keselamatan, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya.Akan
tetapi tentunya pemerintah juga memperhatikan kepentingan pengusaha yakni
kelangsungan perusahaannya.
Pasal
1313 KUH perdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya.Oleh karena itu, pengertian seperti ini mengandung makna dan cakupan
yang luas atau umum sekali sifatnya.
Kemudian
dalam pasal 1601 a KH perdata secara khusus mendefinisikan mengenai perjanjian
kerja.
“perjanjian
kerja adalah perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya
untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu,
melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Pakar
hukum perburuhan Indonesia, yaitu Prof. R. Iman soepomo, S.H yang menerangkan
bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja.Perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri mengerjakan
buruh itu dengan membayar upah.
Dari
pengertian-pengertian ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian
terdapat dua pihak, dimana hanya satu pihak yang memberikan perintah sedangkan
pihak lain menjalankan perintah tersebut dengan mendapatkan upah. Kedudukan
yang tidak sama ini disebut sebagai subordinasi.
Oleh
karena itu adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian umum dengan
perjanjian kerja tidak dapat dipungkiri. Sebab dalam perjanjian pada umumnya
yang membuat perjanjian mempunyai derajat yang sama serta mempunyai hak dan
kewajiban yang sama atau seimbang. Perjanjian kerja juga dikatakan hampir mirip
dengan perjanjian pemborongan yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak-pihak
yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan
pembayaran tertentu.
Selanjutnya
perlu ditekankan bahwa perjanjian kerja jelas tidak sama dengan kesepakatan kerja
bersama (KKB). Perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan KKB.
Berikut
ini adalah ketentuan –ketentuan hubungan antara KKB dan perjanjian kerja :
a.
KKB adalah sebagai peraturan induk dari
perjanjian kerja
b.
Perjanjian kerja tidak boleh
mengesampingkan keberadaan KKB
c.
Ketentuan-ketentuan dalam KKB secara
otomatis beralih perjanjian kerja
d.
KKB merupakan jembatan untuk menuju
terciptanya perjanjian kerja yang baik.
2.
Ketentuan Hukum Perjanjian Kerja
Suatu
perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai
suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar
keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (legally concluded
contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat (pasal 1320 KUH perdata) yaitu:
a.
Sepakat merekat yang mengikatkan diri,
b.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian,
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian haruslah bersepakat setuju dengan
tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak lain. Tidak adanya kekeliruan atau
penipuan oleh salah satu pihak.Oleh karena itu kesepakatan adalah unsur utama.
Kecakapan
membuat suatu perjanjian maksudnya mereka yang dikategorikan sebagai pendukung
hak dan kewajiban adalah orang atau badan hukum.Sedangkan suatu sebab yang
halal maksudnya ialah tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam
suatu perjanjian terdapat beberapa azas, yaitu:
a.
Azas kebebasan berkontrak atau open
system (freedom of contract).
Azas
utama dalam perjanjian adalah azas keterbukaan (open system), maksudnya adalah setiap
orang bebas melakukan perjanjian apa saja dengan siapa saja. Dalam perjanjian
kerja azas kebebasan berkontrak maupun azas yang utama.
b.
Azas konsensual atau azas kekuasaan
bersepakat
Maksud
dari azas ini adalah bahwa perjanjian itu ada sejak tercapainya kata sepakat,
antara pihak yang mengadakan perjanjian.Artinya yang paling utama adalah
terpenuhinya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian.
c.
Azas kelengkapan atau optimal system
Maksud
Azas ini adalah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian, berkeinginan
lain, mereka menyingkirkan pasal-pasal yang ada pada undang-undang.Akan tetapi
jika secara tegas ditentukan di dalam suatu perjanjian, maka ketentuan pada
undang-undanglah yang dinyatakan berlaku.
3.
Unsur-Unsur dalam Perjanjian Kerja
Berdasarkan
penjelasan pengertian tentang perjanjian kerja yang dijelaskan sebelumnya dapat
ditentukan unsur-unsur dari perjanjian kerja yaitu:
a.
Adanya unsur work atau pekerjaan.
Dalam
suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian).Pekerjaan
mana yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan pedoman
pada perjanjian kerja.
b.
Adanya unsur perintah
Berdasarkan
perjanjian tersebut pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain yaitu
sipemberi kerja. Dengan adanya ketentuan seperti ini, menunjukkan bahwa si
pekerja dalam melakukan pekerjanya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu si
majikan.
c.
Unsur waktu (Time)
Bahwa
dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau perundang-undangan.
d.
Unsur upah (pay)
Upah
maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan
itu yang dilakukan oleh pekerja.Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasinya
melakukan pekerjaan di bawah perintah orang lain (majikan / pengusaha), maka
pihak pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas
upah.Upah merupakan hubungan kontraktual antara penerima kerja dan pemberi
kerja.Pemberian majikan yang tidak wajib kepada pekerja tidak dikategorikan
sebagai upah.Lazimnya pembayaran upah diberikan dalam bentuk uang.Akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang.
Dalam
pasal 14 undang-undang No. 25 tahun 197 tentang ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa perjanjian kerja yang dibuat tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a.
Nama, alamat perusahaan, dan jenis
usaha.
b.
Nama dan alamat pekerja
c.
Jabatan atau jenis pekerjaan.
d.
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja.
e.
Besarnya upah dan cara pembayaran.
f.
Tempat pekerjaan.
g.
Mulai melakukan perjanjian kerja
h.
Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat.
i.
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja
Perjanjian
kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis.Ketentuan
ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan
sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja.Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.Masa percobaan adalah
masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan, keahlian seorang
pekerja.
B.
Kewajiban
Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kerja.
Hak
dan kewajiban antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya merupakan suatu
kebalikan, jika disatu pihak merupakan hak maka dipihak lain adalah sebuah
kewajiban.
1.
Kewajiban-kewajiban pihak pekerja
Yang
menjadi inti dari kewajiban-kewajiban pihak pekerja, yaitu:
a.
Pekerja wajib melakukan pekerjaannya,
melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus
dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin majikan dapat diwakilkan.
Hal ini mengingat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat
pribadi sifatnya karna berkaitan dengan masalah keahlian.
b.
Pekerja wajib menaati peraturan dan
petunjuk majikan / pengusaha, aturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas.
c.
Kewajiban membayar ganti rugi dan denda,
jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena
kesengajaan / kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum wajib membayar ganti
rugi. Ada Azas yang menyatakan perbuatan melanggar hukum dapat menimbulkan
ganti rugi (Azas demnum in iura datum)
2.
Kewajiban-kewajiban majikan / pengusaha
Berikut
adalah kewajiban-kewajiban majikan / pengusaha, dalam hukum ketenagakerjaan :
a.
Kewajiban membayar upah.
Kewajiban
yang utama adalah pembayaran upah sebagai akibat langsung pelaksanaan
perjanjian oleh pekerja.Pembayaran upah ahrus dilakukan tepat waktu.Pembayaran
upah diatur pula jika si pekerja berhalangan karena alasan tertentu misalnya
alasan sakit, menjalankan cuti, melakukan tugas negara dan lain sebagainya.
b.
Kewajiban untuk memberikan istirahat
tahunan
c.
Kewajiban mengurus perawatan dan
pengobatan
Majikan
wajib mengurus dan merawat jika buruh yang bertempat tinggal padanya sakiot
atau kecelakaan.Akan tetapi dalam hal ini keadaan yang tidak disengajalah yang
menjadi tanggung jawab majikan.
d.
Kewajiban memberikan surat keterangan
Majikan
wajib memberikan surat keterangan yang membuktikan pengalaman kerjanya, jabatn
yang pernah didudukinya dan keahlian-keahlian tertentu yang telah dimilikinya.
Akan tetapi pemutusan kerja tersebut bukan karena alasan-alasan negatif
e.
Kewajiban majikan untuk memberlakukan
sama antara pekerja pria dan pekerja wanita
C.
Penerapan
Praktek Outsourcing di Indonesia
Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
misalnya yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsug dengan
proses produksi.
Sedangkan yang dimaksud kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsungdengan proses
produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usahapenyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga
pengaman(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan,serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Mengenai jenis-jenis
kegiatan jasa penunjang ini juga diatur dalam Pasal 17 ayat (3)Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19
Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain (“Permenaker 19/2012”).
Materi muatan lain yang dikandung
dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
perusahaan outsourcing. Ini diatur dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3),
yaitu:
1.
adanya
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
2.
hubungan
kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a dituangkan secara tertulis dan
ditandatangani kedua pihak dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
3.
perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
4.
perjanjian
kerjasama antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
5.
Penyedia
jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Lebih lanjut persyaratan-persyaratan
tersebut di atas diatur lebih rinci dan teknis lagi di Permenaker 19/2012.
Semisal kewajiban mendaftarkan perjanjian antara perusahaan penyedia pekerja outsourcing
dengan perusahaan pengguna pekerja outsourcing ke instansi ketenagakerjaan
setempat.
Kemudian juga ada persyaratan
kewajiban bagi perusahaan penyedia pekerja outsourcing seperti harus berbadan
hukum Perseroan Terbatas, memiliki izin usaha, izin operasional dan nomor pokok
wajib pajak. Selain itu, perusahaan penyedia pekerja outsourcing juga
harus mendaftarkan perjanjian kerja pekerja outsourcing-nya di instansi
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
D.
Akibat
Hukum Pelanggaran Praktik Outsourcing
Dalam Pasal 66 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan dikatakan bahwa apabila ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) dan
ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak terpenuhi, dalam arti pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor SE.04/MEN/VIII/2013 sebagai pedoman pelaksana
dari Permenaker 19/2012 ada juga sanksi pencabutan izin operasional perusahaan
penyedia pekerja outsourcing. Yaitu bagi perusahaan outsourcing
yang tidak mendaftarkan perjanjian kerjasama dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Juga terhadap perusahaan outsourcing yang tidak mencatatkan perjanjian
kerja pekerja outsourcing-nya. Sehingga tidak ada sanksi pidana secara
spesifik bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh maupun perusahaan pemberi
kerja yang melanggar praktik outsourcing sesuai Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.Namun
yang ada hanyalah pencabutan izin operasional perusahaan penyedia pekerja outsourcing
dan perubahan status hubungan kerja pekerja outsourcing.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
hubungan kerja perjanjian kerja merupakan suatu hal yang lazim digunakan
dimana, antara pekerja dan pemberi kerja mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
yaitu perjanjian kerjanya sebagai undang-undang bagi pihak yang
terikat.Perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan kesepakatan kerja
bersama (KKB).Perjanjian kerja dibentuk harus berdasarkan kesepakatan yang
terbuka dari kedua pihak.Sedangkan pelanggaran terhadap isi perjanjian adalah
pelanggaran hukum, yaitu hukum yang mengikat kedua pihak.Pelanggaranhukum
terdapat kewajiban membayar ganti rugi oleh yang melanggar perjanjian.Dalam
melakukan perjanjian kerja harus terpenuhinya unsur-unsur dalam
ketentuan-ketentuan hukum dalam pembuatan perjanjian.
Praktek
Outsourcing telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya boleh dilakukan untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsug dengan
proses produksi. Dan bagi yang melanggar,tidak ada sanksi pidana secara
spesifik bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh maupun perusahaan pemberi
Namun yang ada hanyalah pencabutan izin operasional perusahaan penyedia pekerja
outsourcing dan perubahan status hubungan kerja pekerja outsourcing.
B. Saran
Dalam
pembentukan perjanjian kerja yang sifatnya formal sebaiknya kedua pihak
didukung oleh pihak dari pemerintah.Pihak pemerintah disini dapat memberikan
masukaan maupun saran terhadap isi perjanjian tersebut.Oleh karena itu pejabat
pemerintah yang turun tangan dalam hal ini adalah mereka yang mempunyai
keahlian khusus dalam perjanjian kupun tentang pekerjaan yang dikerjakan
berdasarkan perjanjian kerja tersebut.
Dalam praktek Outsourcing
sebaiknya pemerintah harus melakukan pengawasan dan menetapkan standar
regulasi di tingkat pusat dan daerah dan pengusaha atau industri diharap dapat
menentukan core dan non core serta membuat skemahubungan kerjasama yang
melindungi hak pekerja atau buruh, artinya perusahaan seharusnyamenetapkan
outsourcing bukan untuk cost reduction tetapi semangat untuk fokus pada
bisnisdan produktivitas yang berkaitan dengan kesejahteraan Serta perusahaan
outsourcing harus profesional dan taat hukum sehingga dapat menjadi mitrausaha
yang dapat diandalkan berdasarkan kompetensi dan produktifitasnya dan tak
lupa pekerja atau buruh harus meningkatkan kompetensinya agar mampu
bersaing di tengah erayang kompetitif sehingga akan dicari perusahaan dan
mempunyai daya saing
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan. 2014. Seputar Maslah Tenaga Kerja
Outsourcing di Indonesia. Diakses melalui http:// www.academia.edu/ 4820761/
Seputar_Masalah_Tenaga_Kerja_Outsourcing_di_Indonesia pada tanggal 24 Juni 2015 pukul 10.31
.
Djumadi, S.H., M. Hum., 2004. Perjanjian
Kerja. Bnjarmasin: PT. Rajagrafindo Persada.
Husni Lalu, S.H., Hum. 2000. Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Mataram: PT. Rajagrafindo Persada.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012.
Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.04/MEN/VIII/2013.
Tri Jata Ayu Pramesti. 2015. Akibat
Hukum Pelanggaran Praktik Outsourcing.
Diakses melalui http://
www.hukumonline.com/ klinik/ detail/
lt51ee87cd92e1f/akibat-hukum-pelanggaran-praktik-outsourcing pada tanggal 24
Juni 2015 pukul 10.39.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.