BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Penitipan barang
terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari orang lain dengan syarat
ia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya (1694 KUHPerdata). Menurut
kata-kata pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “riil” yang berarti
bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu
diserahkannya barang yang dititipkan. Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian
lain pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada
saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu penitipan barang dalam ranah perikatan
?
2. Apa jenis-jenis atau
macam-macam penitipan barang yang dimaksud dalam hukum perikatan ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui penitipan barang dalam ranah
perikatan.
2. Mengetahui jenis-jenis
atau macam-macam penitipan barang yang dimaksud dalam hukum perikatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penitipan Barang
Penitipan barang
terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut kata-kata
pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “riil” yang berarti bahwa ia
baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu
diserahkannya barang yang dititipkan. Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian
lain pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada
saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
B.
Jenis-jenis atau macam-macam perikatan
Menurut undang-undang
ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi.
a.
Penitipan Barang yang Sejati
Penitipan barang yang
sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya,
sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak (pasal 1696).
Perjanjian tersebut
tidaklah telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara
sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal 1697). Ketentuan ini
menggambarkan lagi sifatnya riil dari perjanjian penitipan, yang berlainan dari
difat perjanjian-perjanjian lain pada umumnya yang adalah konsensual.
Penitipan barang
terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa (pasal 1698)
a. Penitipa Sukarela
Penitipan barang
dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang
menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan (pasal 1699). Penitipan
barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara orang-orang yang mempunyai
kecakapan untuk membuat perjanjian-perjanjian. Jika namun itu seorang yang
cakap untuk membuat perjanjian, menerima penitipan suatu barang seorang yang
tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia kepada semua kewajiban
yang dipikul oleh seorang penerima titipan yang sungguh-sungguh (pasal 1701).
Yang dimaksudkan oleh
ketentuan tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai suatu perjanjian
secara sah hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap menurut hukum,
namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan barang dari seorang
yang tidak cakap maka si penerima titipan harus melakukan semua kewajiban yang
berlaku dalam suatu perjanjian penitipan yang sah.
Dalam pasal 1702
mengatakan: jika penitipan dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang
yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah
mempunyai hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut pengembalian
barang yang dititipkan, selama barang ini masih ada pada pihak yang terakhir
itu atau jika barangnya sudah tidak lagi pada si penerima titipan, maka
dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi sekadar sipenerima titipan itu telah
memperoleh manfaat dari barang tersebut. Yang dimaksudkan adalah, bahwa jika
seorang yang cakap menurut hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak
cakap, maka ia memikul risiko kalau barang itu dihilngkan. Hanyalah. Kalau
sipenerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang yang telah
dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut pemberian ganti rugi. Si
penerima titipan dapat dikatakan telah memperoleh manfaat dari barang yang
telah dihilangkan itu umpamanya kalau ia telah menjualnya dan uang pendapatan
penjualan telah dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si
penerima titipan tidak menyimpannya dengan baik, tidak ada tuntutan ganti rugi.
Dengan sendirinya tuntutan pemberian ganti rugi ini harus dilakukan terhadap
orangtua atau wali dari si penerima titipan.
b. Penitipan Terpaksa
Yang dinamakan penitipan
karena terpaksa adalah (menurut pasal 1703) penitipan yang terpaksa dilakukan
oleh seorang karena timbulnya sesuatu malapetaka, misalnya: kebakaran,
runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir dan lain-lain peristiwa
yang tak tersangka.
Penitipan barang
karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti yang berlaku terhadap
penitipan sukarela (pasal 1705). Maksudnya adalah bahwa suatu penitipan yang
dilakukan secara terpaksa itu mendapat perlindungan dari undang-undang yang
tidak kuran dari suatu penitipan yang terjadi secara sukarela.
Di dalam pasal 1706
mewajibkan si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan
kepadanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang
miliknya sendiri.
Ketentuan tersebut menurut
pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam beberapa hal, yaitu:
1. Jika si penerima titipan telah menawarkan
dirinya untuk menyimpan barangnya;
2. Jika ia telah meminta diperjanjikannya
sesuatu untuk penyimpanan itu;
3. Jika penitipan telah terjadi sedikit
banyak untuk kepentingan si penerima titipan; dan
4. Jika telah diperjanjikan bahwa si
penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian.
Tidak sekali-kali si
penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa yang tak dapat
disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang dititipkan.
Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak bertanggung jawab jika barangnya
juga akan musnah seandainya telah berada ditangannya orang yang menitipkan (pasal
1708). Peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang lajimnya dalam
bahasa hukum dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa Belanda: “overmacht” atau
“force majeur”) yaitu suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.
Resiko kemusnahan barang karena suatu keadaan memaksa itu memang pada asasnya
harus dipikul oleh pemilik barang. Namun apabila si penerima titipan itu telah
lalai mengembalikan barangnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian, maka
(juga menurut asas umum hukum perjanjian) ia mengoper tanggung jawab tentang
kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung jawab ini hanya dapat
dilepaskan jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan musnah
seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya barang itu
mengandung suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan kemusnahannya biarpun
ia berada ditangannya orang yang menitipkan.
Rumah Penginapan dan
Losmen
Pasal 1709 meletakkan
tanggung jawab kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen terhadap
barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus rumah penginapan dan
penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima titipan barang. Penitipan
barang oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu penitipan karena terpaksa.
Selanjutnya pasal 1710 menetapkan bahwa mereka itu bertanggung jawab tentang
pencurian atau kerusakan pada barang-barang kepunyaan para penginap, baik
pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu diterbitkan oleh pelayan-pelayan
atau lain-lain pekerja dari rumah penginapan, maupun oleh setiap orang lain.
Namun (demikian pasal 1711 seterusnya) mereka tidak bertanggung jawab tentang
pencurian yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dimasukkan sendiri oleh si
penginap.
Dalam praktek para
pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu membatasi tanggung jawab
mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa mereka tidak bertanggung jawab
tentang hilangnya barang-barang yang berharga (uang, perhiasan) yang tidak
secara khusus dititipkan pada mereka. Melepaskan tanggung jawab seluruhnya
terhadap semua barang tentunya tidak dibolehkan.
Si penerima titipan
barang tidak diperbolehkan memakai barang yang dititipkan untuk keperluan
sendiri tanpa ijinnya orang yang menitipkan barang, yang dinyatakan dengan
tegas atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian biaya, kerugian dan bunga
jika ada alasan untuk itu (pasal 1712). Selanjutnya ia tidak diperbolehkan
menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan jika barang itu
dipercayakan kepadanya dalam suatu kotak tertutup atau dalam suatu sampul
tersegel (pasal 1713).
Si penerima titipan
diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang telah diterimanya. Dengan
demikian maka jumlah-jumlah uang harus dikembalikan dalam mata uang yang sama
seperti yang dititipkan, tak peduli apakah mata uang itu telah naik atau telah
turun nilainya (pasal 1714).
Si penerima titipan
hanya diwajibkan mengembalikan barang yang dititipkan dalam keadaannya pada
saat pengembalian itu. Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar
kesalahan si penerima titipan, adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan
(pasal 1715).
Jika barangnya dengan
paksaan dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah
menerima harganya atau sesuatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus
menyerahkan apa yang diterimanya sebagai ganti itu kepada orang yang menitipkan
barang (pasal 1716).
Seorang ahli waris
dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu bahwa suatu barang adalah
barang titipan, denga itikad baik telah menjual barang tersebut, hanyalah
diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, atau jika ia belum
menerima harga itu, menyerahkan hak tuntutannya terhadap si pembeli barang
(pasal 1717). Jika ia menjualnya barang itu dengan itikad buruk, maka dengan
sendirinya, selainnya ia harus mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia
juga dapat dituntut membayar ganti rugi.
Jika barang yang
dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut atau diterima oleh si
penerima titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya (pasal 1718 ayat 1).
Dalam hal yang
dititipkan itu uang, si penerima titipan tidak diharuskan membayar bunga,
selainnya sejak hari ia lalai mengembalikannya, setelah diperingatkan (pasal
1718 ayat 2). Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat
perjanjian penitipan si penerima tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu,
bahkan ia harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama seperti yang
diterimanya (lihat pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang
titipan itu setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita kerugian
karena ia sudah mulai memerlukan uang itu, sehingga pembebanan pembayaran bunga
itu pantas pula. Dan bunga yang dibebankan ini tentunya adalah yang dinamakan
“bunga moratoir” sebesar enam persen setahun, terhitung mulai pengembalian uang
titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan.
Deposito dengan Bunga
Apa yang dikenal
sebagai “deposito” dengan bunga (meskipun “deposito” artinya penitipan), bukan
penitipan yang kita bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito
(uang) dibolehkan (dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang
dititipkan dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada
hakekatnya perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang
dengan bunga.
Si penerima titipan
tidak diperbolehkan mengembalikan barangnya titipan selainnya kepada orang yang
menitipkannya kepadanya atau kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah
dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali barangnya (pasal 1719).
Si penerima titipan
tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan barang, suatu bukti bahwa orang
itu pemilik barang tersebut.
Jika namun itu ia
mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya
sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya
dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu
didalam suatu waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa pemberitahuan
itu telah dilakukan, melalaikan untuk meminta kembali barangnya, maka si
penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia menyerahkan barang itu kepada
orang dari siapa ia telah menerimanya (pasal 1720).
Apabila orang yang
menitipkan barang meninggal, maka barangnya hanya dapat dikembalikan kepada
ahli warisnya.
Jika ada lebih dari
seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka kesemuanya
atau kepada masing-masing untuk bagiannya.
Jika barang yang
dititipkan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan
mupakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya (pasal 1721).
Jika orang yang
menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya seorang perempuan yang pada
waktu menitipkan barang tidak bersuami, kemuadian kawin; seorang dewasa yang
menitipkan barang ditaruh dibawah pengampuan; dalam hal ini dan dalam hal-hal
semacam itu, barang yang dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada
orang yang melakukan pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang
menitipkan barang, kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai
alasan-alasan yang sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut
(pasal 1722). Tentang seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin,
sekarang tidak merupakan halangan lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap
mengembalikan barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau
bantuan dari suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan pasal 108
B.W. sudah tidak berlaku lagi.
Jika penitipan barang
telah dilakukan oleh seorang wali, seorang pengampu, seorang suami atau seorang
penguasa dan pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya dapat
dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau
penguasa tersebut (pasal 1723).
Pengembalian barang
yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang ditunjuk dalam perjanjian. Jika
perjanjian tidak menunjuk tempat itu, barangnya harus dikembalikan ditempat
terjadinya penitipan. Adapun biaya yang harus dikeluarkan untuk itu harus
ditanggung oleh orang yang menitipkan barang (pasal 1724).
Barang yang dititipkan
harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan, seketika apabila dimintanya,
sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk
pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas
barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan (pasal 1725). Dari
ketentuan ini dapat kita simpulkan bahwa apabila dalam perjanjian penitipan
ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan waktu ini hanya mengikat si
penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang menitipkan. Setiap waktu
barang titipan itu dapat diminta kembali. Satu-satunya hal yang dapat
menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan yang telah diletakkan oleh
pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi misalnya apabila telah
timbul suatu sengketa mengenai barang yang bersangkutan. Dalam hal yang demikian
maka jalan yang harus ditempuh oleh orang yang menitipkan barang adalah
mengajukan perlawanan (verzet) terhadap penyitaan tersebut kepada Pengadilan
Negeri.
Si penerima titipan
yang mempunyai alasan yang sah untuk membebaskan diri dari barang yang dititipkan,
meskipun belum tiba waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian, juga berkuasa
mengembalikan barangnya kepada orang yang menitipkan atau jika orang ini
menolaknya, meminta ijin hakim untuk menitipkan barangnya disuatu tempat lain
(pasal 1726). Untuk membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya waktu
yang ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah dan
apabila permintaannya untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang
menitipkan, diperlukan ijin dari hakim untuk menitipkan barang itu ditempat
lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
Segala kewajiban si
penerima titipan berhenti jika ia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa dia
sendirilah pemilik barang yang dititipkan itu (pasal 1727). Dalam hal yang
demikian, maka perjanjian penitipan hapus dengan sendirinya, karena si penerima
titipan ternyata menguasai barang miliknya sendiri.
Orang yang menitipkan
barang diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta mengganti
kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena penitipan itu (pasal 1728).
Berhubung dengan
ketentuan diatas, oleh pasal 1729 ditetapkan bahwa si penerima titipan berhak
menahan barangnya hingga segala apa yang harus dibayar kepadanya karena
penitipan tersebut dilunasi.
b.
Sekestrasi
Sekestrasi adalah
penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak
ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus,
mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan berhak, beserta
hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula
yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).
1. Sekestrasi dengan persetujuan
Sekestrasi terjadi
dengan persetujuan, apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada
seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (pasal 1731).
Sekestrasi dapat
mengenai baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak (pasal
1734), jadi berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya dapat
mengenai barang yang bergerak saja (lihat pasal 1696).
Si penerima titipan
yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari tugasnya,
sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang
berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu alasan lain yang sah (pasal
1735).
2. Sekestrasi atas perintah Hakim
Sekestrasi atas
perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang tentang
mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (pasal 1736). Mengenai sekestrasi
macam ini ditetapkan seterusnya oleh pasal 1737 sebagai berikut:
Sekestrasi guna
keperluan Pengadilan diperintahkan kepada seorang yang disetujui oleh
pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim
karena jabatan.
Dalam kedua-duanya
hal, orang kepada siapa barangnya telah dipercayakan, tunduk kepada segala
kewajiban yang terbit dalam halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya
itu ia diwajibkan saban tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu
perhitungan secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan
memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang dipercayakan kepadanya, namunlah
disetujuinya perhitungan itu tidak akan dapat diajukan terhadap para pihak yang
berkepentingan (pasal 1737).
Hakim dapat
memerintahkan sekestrasi:
1. Terhadap barang-barang bergerak yang
telah disita ditangannya seorang berutang (debitor).
2. Terhadap suatu barang bergerak maupun tak
bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi
persengketaan;
3. Terhadap barang-barang yang ditawarkan
oleh seorang berutang (debitor) untuk melunasi utangnya (pasal 1738).
Penyitaan yang
disebutkan sub 1 diatas adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas
permintaan seorang penggugat, sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang
debitor kepada kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan sub
3, dilakukan dalam hal kreditor itu menolak pembayaran yang akan dilakukan
debitornya, sehingga debitor ini terpaksa meminta bantuan seorang jurusita atau
notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut (secara resmi) kepada
kreditor tersebut. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh kreditor, maka
barang atau uang tersebut dapat dititipkan dikepaniteraan pengadilan atau
kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu
gugatan dari debitor tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan
dengan disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya.
Pengangkatan seorang
penyimpan barang dimuka Hakim, menerbitkan kewajiban-kewajiban yang bertimbal
balik antara si penyita dan si penyimpan.
Si penyimpan
diwajibkan memelihara barang-barang yang telah disita sebagai seorang bapak
rumah tangga yang baik.
Ia harus menyerahkan
barang-barang itu untuk dijual supaya dari pendapatan penjualan itu dapat
dilunasi piutang-piutang si penyita, atau menyerahkannya kepada pihak terhadap
siapa penyitaan telah dilakukan, jika penyitaan itu dicabut kembali.
Adalah menjadi
kewajiban si penyita untuk membayar kepada si penyimpan upahnya yang ditentukan
dalam undang-undang (pasal 1739). Memelihara barang sebagai seorang bapak rumah
yang baik diartikan sebagai memelihara sebaik-baiknya dengan minat seperti
terhadap barang miliknya sendiri. Apabila kreditor sudah dimenangkan perkaranya
dengan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, maka
penyitaan conservatoir atas barang-barang si debitor otomatis berubah menjadi
penyitaan eksekutorial, yang berarti bahwa barang-barang sitaan itu harus
dijual untuk melunasi piutang kreditor. Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si
penyita) ditolak, maka penyitaan itu akan dicabut oleh Hakim dan si penyimpan
harus menyerahkan barang itu kepada debitor.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penitipan barang
terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut undang-undang
ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi.
Penitipan barang yang
sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya,
sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak (pasal 1696).
Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa (pasal 1698)
Sekestrasi adalah
penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak
ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus,
mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan berhak, beserta
hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula
yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).
Saran
Dari penjelasan di
atas tentang penitipan barang, pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan
dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca dan khususnya
dosen pembimbing mata kuliah hukum perikatan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada para pembaca (dosen pembimbing mata kuliah ini) &
mahasiswa/i dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Nurlaila,Hayati.2013.diakses
melalui http://lailahamkha.blogspot.com/2013/12/penitipan-barang.html pada 1 Juli 2015 pukul19: 00
R. Subekti.1995.Aneka Perjanjian.Bandung:PT.Citra Aditya
Bakti
Wawan Muhwan.2011.Hukum Perikatan.Bandung:CV Pustaka Seti
PENITIPAN
DALAM ULASAN KITAB UNDANG- UNDANG
HUKUM PERDATA
Makalah
Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen
Pengampu : Suparwi, SH. MH.

Disusun oleh:
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BATIK
SURAKARTA
SURAKARTA

![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar