Rabu, 25 November 2015

SEJARAH PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA INDONESIA




SEJARAH PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA INDONESIA
Makalah
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu : Ristina Yudhanti, SH, M.Hum


Disusun oleh:

Bela Alfia                                           2014010054
Ghufron Ali Wicaksono                     2014010036
Wanda Ayu                                         2014010002
Ricky Putra Buana                            2014010127
Damar Adi                                          2014010126


PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BATIK SURAKARTA
SURAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang berjudul “Sejarah Pembentukan Peradilan Tata Usaha Indonesia”
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ristina Yudhanthi,S.H, M.Hum. yang telah memberikan tugas, dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
2.      Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
3.      Teman-teman yang telah mendukung penulis untuk segera menyelesaikan tugas ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi  penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.


 Surakarta,      Oktober 2015


                                                                                    Penulis,


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan sebuah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan kekuasaan kehakiman menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat). Pasal 1 ayat (3)  Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Salah satu syarat Negara hukum adalah perlu adanya Peradilan Tata Usaha Negara.
Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata Usaha Negara, maka  Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Namun pada Tanggal 15 Januari 2004 kedua undang-undang tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian, diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang kemudian disahkan pada tanggal 29 Maret 2004.Bahkan, pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara tetap dipertahankan dan masih tetap berlaku.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.         Apa pengertian PTUN ?
2.         Bagaimana pembentukan PTUN di Indonesia ?
C.       Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Mengetahui pengertian PTUN
2.         Mengetahui pembentukan PTUN di Indonesia




















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian PTUN
Peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan (J.T.C Simorangkir dalam S.F Marbun, 2003: 30). Menurut Muchsan, SH di dalam bukunya “Peradilan Administrasi Negara” menyatakan bahwa : Peradilan Administrasi Negara adalah suatu badan yang mengatur tata cara penyelesaian persengketaan antara sesama instansi administrasi Negara dan warga masyarakat, atau dapat pula dirumuskan sebagai persengketaan intern administrasi dan persengketaan ekstern Administrasi Negara.
Ada para sarjana yang membedakan pengertian pengadilan dengan peradilan.Pengadilan merupakan terjemahan dari Rechtbank atau Court maksudnya menunjuk pada badan, wadah, lembaga atau institusi. Sedangkan peradilan merupakan terjemahan dari Rechtspraak atau judiciary. Dimaksudkan untuk menunjuk fungsi,proses atau cara memberikan keadilan, seperti dilakukan antara lain oleh pengadilan.Karena itu Sudikno Mertokusumo, merumuskan pengadilan, bukan semata-matadiartikan sebagai badan yang bertugas mengadili, tetapi juga tercakup didalamnya pengertian yang lebih abstrak, yakni memberikan keadilan. Jadi pengertian pengadilan kecuali tercakup didalamnya peradilan, juga mempunyai kemampuan berfungsi memberikan keadilan. Menurut R.Subekti, R.Tjitrosoedibio dan JCT Simorangkir, merumuskan peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan. Rumusan pengertian ini tidak menunjuk kepada badan tertentu sebagai lembaga yang secara khusus bertugas menegakkan keadilan. Berard tugas menegakkan keadilan tidak semata-mata dilakukan oleh badan pengadilan (badan yudikatif), sesuai teori trias politica. Dengan demikian alat perlengkapan negara lainnya dapat diserahi tugas negara tersebut, asalkan sesuai dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut pendapat Prayudi Atmosudirdjo, mengemukakan bahwa peradilan administrasi negara mencakup;
1.         Peradilan administrasi negara dalam arti luas;
2.         Peradilan administrasi negara dalam arti sempit, yang mana terbagi menjadi 2 yaitu;
a.         Peradilan administrasi
b.        Peradilan adminstratif
Sedangkan menurut Rochmat Sumitro, menyatakan bahwa peradilan administrasi dalam arti luas mencakup;
1.         Peradilan administrasi dalam arti sempit;
2.         Peradilan administrasi tak murni, yang dalam bidang perpajakan dibedakan lagi seperti;
a.         Ketetapan administrasi murni;
b.        Quasi peradilan (peradilan semu);
c.         Ketetapan semi administrasi; dan 
d.        Semi peradilan.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, terdapat perbedaan, yaitu;
1.         Peradilan administrasi yang sesungguhnya atau sebenarnya (murni/ sempit, Administratieve rechtspraak dan eigentlijke)
2.         Peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya atau peradilan tidak murni, yang seolah-olah menyerupai peradilan (Administratieve Beroep on eigenlijke, Administrative rechtspraak, Gesohillen beslecthing  atau Quasi rechtspraak);
Peradilan dalam arti luas pada dasarnya mencakup 2 (dua) golongan yaitu:
1.         Peradilan administrasi murni yang sesungguhnya atau peradilan administrative dalam arti sempit.
2.         Peradilan yang tidak sesungguhnya atau Peradilan Administrasi Semu.
Menurut  Prayudi Atmosudirjo, bahwa definisi peradilan administrasi dalam arti luas adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansi-instansi Administrasi Negara, baik yang bersifat "perkara pidana", "perkara perdata", "perkara agama", "perkara adat", dan perkara Administrasi negara murni/ Tata Usaha Negara. Sedangkan peradilan negara dalam arti sempit adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi saja.
Suatu perkara administrasi negara (murni) adalah suatu perkara yang tidak mengandung "pelanggaran hukum" (pidana/perdata), melainkan suatu "persengketaan" atau konflik yang berkisar atau berpangkal pada suatu yang mengenai interprestasi daripada suatu pasal atau ketentuan undang-undang dalam arti luas.
Unsur- unsur Peradilan:
1.         Adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan
2.         Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit
3.         Adanya sekurang- kurangnya dua pihak
4.         Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan administrasi, maka disamping unsure- unsure di atas dipenuhi, harus ada unsure- unsure lainnya, yakni:
1.         Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
2.         Diberlakukannya “hukum public” atau hukum administrasi terhadap persoalan yang diajukan.




Sebagaimana diketahui bahwa peradilan administrasi dapat dibagi atas:
1.         Peradilan Administrasi Murni
Adalah suatu peradilan administrasi yang memenuhi syarat- syarat seperti yang diuraikan di atas yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pengadilan biasa.
Ciri khas suatu peradilan murni ialah adanya suatu hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili.Badan atau pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat “tertentu” atau “terpisah”.
Tertentu artinya bahwa badan atau pejabat itu ditentukan oleh UU atau peratuaran lain yang mempunyai tingkatan sama dengan suatau UU dan diberi wewenang  untuk mengadili perselisihan administrasi, seperti peradilan pajak ditingkat banding yang dlakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Terpisah artinya bahwa badan atau pejabat yang melakukan peradilan itu tidak merupakan bagian dari salah satu pihak atau tidak termasuk di bawah pengaruh salah satu pihak sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara itu berada di atas para pihak.
2.         Peradilan Administrasi tak Murni
Adalah peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat- syarat peradilan administrasi murni seperti tersebut di atas.
Menurut Rochmat Soemitro, bahwa unsur-unsur peradilan administrasi murni memiliki ciri khas berupa;
a.         hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat  yang mengadili
b.        badan atau pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat tertentu dan terpisah.
c.         adanya suatu aturan hukum yang abstrak, yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan 
d.        adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit
e.         adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan
f.          ada sekurang-kurangnya dua pihak
g.         peraturan-peraturan yang harus diterapkan terletak dalam lapangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
h.         salah satu pihak harus administrasi yang menjadi terikat, karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
Menurut Sjachran Basah, bahwa peradilan sesungguhnya memiliki unsur-unsur :
1.         adanya hukum, terutama dilingkungan hukum administrasi negara yang diterapkan pada suatu pemerintahan.
2.         adanya sengketa hukum yang terikat, yang pada dasarnya disebabkan oleh Ketetapan Tertulis administrasi negara.
3.         minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus Administrasi Negara (pejabat/badan)
4.         adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah, yang berwenang memutuskan sengketa-sengketa secara terpisah, netral atau tidak memihak.
5.         adanya hukum "in concreto" untuk mempertahankan ditaatinya hukum materil.
Mr.Drs.E. Utercht dalam bukunya "Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia", memberikan  gambaran mengenai pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara ialah Lembaga peradialan yang  (hukum administrasi, hukum pemerintahan) menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) (tata usaha negara, administrasi) melakukan tugas mereka yang istimewa.
Menurut Prof.Dr.J.H.A. Logemann dalam bukunya staatsrecht van Nederlands Indie, memberikan definisi dari pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara adalah tempat mengadili sengketayang mengatur hubungan-hubungan hukum dengan warga masyarakat dan antara alat pemerintahan yang satu dengan yang lainnya, serta dipertahankan dan diberi sanksi oleh pemerintah sendiri.
Secara normatif, Pasal 4 UU NO. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mengartikan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU PTUN). Istilah Peradilan Tata Usaha Negara dapat disebut juga dengan Peradilan Administrasi Negara, hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Pasal 144 UU PTUN. Pengertian-Pengertian Dasar dalam UU PTUN (Pasal 1) Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
 Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pemahaman tehadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah jika terlebih dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F Marbun, setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu :
1.         Adanya suatu instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan (S.F Marbun, 2003: 38). Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (dibentuk dengan Kepres), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (dibentuk dengan UU.) dan Berpuncak pada Mahkamah Agung yang diatur tersendiri Dalam UUMA.
2.         Terdapatnya suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan kepastian hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh pejabat TUN.
3.         Terdapatnya suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum. Aturan hukum tersebut terletak di lingkungan Hukum Administrasi Negara.
4.         Adanya sekurang-kurangnya dua pihak (S.F. Marbun, 2003: 38). Sesuai dengan ketentuan hukum positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN. dua pihak disini adalah Badan atau Pejabat Buku Ajar Hukum Acara PTUN, Tata Usaha Negara yang selalu sebagai Tergugat dan rakyat pencari keadilan (orang perorang atau badan hukum privat).
5.         Adanya hukum formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan lainnya.


Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
1.         Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.
2.         Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi
3.         Pengadilan Khusus, Pengadilan Pajak, berkedudukan di ibukota Negara.
Mr.Drs.E. Utercht dalam bukunya "Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia", memberikan  gambaran mengenai pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara ialah Lembaga peradialan yang  (hukum administrasi, hukum pemerintahan) menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) (tata usaha negara, administrasi) melakukan tugas mereka yang istimewa.
Menurut Prof.Dr.J.H.A. Logemann dalam bukunya staatsrecht van Nederlands Indie, memberikan definisi dari pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara adalah tempat mengadili sengketayang mengatur hubungan-hubungan hukum dengan warga masyarakat dan antara alat pemerintahan yang satu dengan yang lainnya, serta dipertahankan dan diberi sanksi oleh pemerintah sendiri.
B.       Pembentukan PTUN di Indonesia
1.         Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan  hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pula pasal yang menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO .
Inti dari kedua psal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya  atau berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi, tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara ( TUN ) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar hokum atau yang menentukan  batas-batas kewenangan  Peradilan administrasi Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah ditetapkan  termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi kewenangan mereka.  Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.ketentuan Pasal 134 ayat 1 IS dan Pasal 2 RO :
a.         Peradilan terhadap perselisihan-perselisihan hanya dilakukan oleh badan yang diserahi kekuasaan kehakiman.
b.        Peradilan oleh badan-badan lain selain badan yg diserahi kekuasaan kehakimanhanya mungkin jika hal ini diatur oleh UU.
c.         Persoalan yg menurut sifatnya atau berdasarkan ketentuan UU termasuk dalamwewenang pertimbangan kekuasaan administrasi tetap diadili oleh kekuasaan itu.
d.        Perselisihan wewenang antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan administrasi diputuskan oleh Gubernur Jenderal.
2.         Zaman Penjajahan Jepang
Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan, diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang merupakan aturan peralihan yakni :
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan  undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”
Dengan perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan RO, yakni system banding administratif (administratief beroep)
3.         Zaman Kemerdekaan Indonesia
a.    Periode Pertama UUD 1945
Konsepsi untuk membentuk Peradilan Administrasi di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Berdasarkan UUD 1945,dikeluarkan UU No.19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan, yang memuat dua pasal Sejalan dengan itu pada tahun 1949 telah dibuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang “Acara Perdata Dalam Soal Tata Pemerintahan” yang disusun oleh Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. , atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, Dr.Susanto Tirtoprodjo S.H..  
Namun sebelum RUU tersebut diundangkan sudah terjadi perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi UUD Republik Indonesia Serikat (RIS).mengenai peradilan administrasi yaitu Pasal 66 dan Pasal 67. Menurut ketentuan tersebut, untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi diserahkan kepada Pengadilan Tinggi (Umum) sebagai peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kedua (Terakhir).

b.    Periode UUD RIS ( 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950)
Dalam Konstitusi RIS terdapat dua pasal yang memuat ketentuan tentang penyelesaian sengketa administrasi (tata usaha), yakni Bab IV Tentang Pemerintahan Bagian III Pasal 161 dan Pasal 162. Menurut ketentuan tersebut, pemutusan tentang sengketa tata usaha diserahkan kepada pengadilan perdata, atau kepada alat perlengkapan negara lain tetapi dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenarannya.
c.    Periode UUD Sementara 1950 ( 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959 ).
Dalam UUDS 1950, ketentuan mengenai penyelesaian sengketa administrasi (tata usaha) dimuat dalam Bagian III Pasal 108 dan Pasal 109, yang materi pokoknya hampir sama dengan ketentuan Konstitusi RIS Pasal 161 dan 162.Namun menurut Syachran Basah (1984 : 88), Pasal 108 UUDS 1950 tersebut membuka beberapa kemungkinan penyelesaian sengketa administrasi (Tata Usaha Negara) dilakukan melalui :
1)        Pengadilan Perdata secara umum,
2)        Pengadilan Perdata khusus untuk sengketa tata usaha tertentu,
3)        Badan Pemutus untuk semua sengketa tata usaha, bukan pengadilan perdata yang dibentuk secara istimewa,
4)        Badan Pemutus Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara tertentu.
Dari alternatif tersebut mengarah pada pembentukan Pengadilan Admisnistrasi (Tata Usaha Negara) yang  berdiri sendiri.
4.         Zaman Berlakunya kembali UUD 1945
Periode Berlakunya Kembali UUD 1945 ( 5 Juli 1959 s/d sekarang). Dalam periode ini dapat dibagi lagi menjadi tiga fase, yaitu :
a.         Fase I (1959 s.d. 1986)
Dengan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli1959, upaya  pembenahan Badan Kekuasaan Kehakiman pun mengacu kepada UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 (lama), Lalu lahir peraturan yang berkaitan dengan  berdirinya PTUN :
1)        Pada tahun 1960, lahir TAP MPRS No.II/MPRS/1960 yang memerintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi. Hal mana ditindaklanjuti oleh LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) dengan disusunnya konsep Naskah RUU Tentang Peradilan Administrasi  Negara pada Tahun 1960.
2)        Pada tahun 1964, terbit UU No.19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa peradilan administrasi merupakan salah satu bagian dalam lingkungan peradilan Indonesia. Atas dasar itu, Menteri Kehakiman RI menerbitkan Surat Keputusan No.J.S.8/12/17 tanggal 16 Februari 1965 tentang Pembentukan Panitia Kerja Penyusun RUU Peradilan Administrasi, yang dilakukan oleh LPHN dengan disusunnya RUU Peradilan Administrasi pada tanggal 10 Januari 1966. Namun RUU tersebut tidak diajukan oleh Pemerintah kepada DPR (GR) hingga terjadi perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
3)        Pada masa Orde Baru, terbit UU No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menggantikan UU No.19 Tahun 1964. Dengan lahirnya UU  No.14/1970 ini eksistensi peradilan administrasi (Tata Usaha Negara) dikukuhkan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.14/1970 yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukanoleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun meskipun telah diamanahkan oleh UU  No.14/1970, ternyata Peradilan TUN belum dapat segera diwujudkan. Dalam masa ini  berbagai kegiatan seminar dan penelitian telah dilakukan oleh akademisi, praktisi hukum,  pejabat dan instansi resmi.
b.                  Fase II (1986 s.d. 2004)
Setelah melalui berbagai upaya dan proses selama bertahun-tahun, pada tahun 1986 Presiden RI dengan surat No. R.04/PU/IV/1986 tertanggal 16 April 1986 melalui Menteri Kehakiman menyampaikan RUU PTUN kepada DPR-RI. RUU ini merupakan penyempurnaan dari RUU Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN (pasal 53ayat 2 beserta  penjelasannya)
Tahun 1986  yang kemudian dibahas oleh Pemerintah bersama DPR di dalam Sidang Pleno dan Paripurna DPR-RI pada tanggal 29 April 1986 dan 20 Mei 1986, hingga berhasil disahkan pada tanggal 29 Desember 1986 sebagai Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Namun demikian, meskipun UU No.5 Tahun 1986 telah diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, UU ini tidak serta merta diberlakukan, melainkan masih menunggu 5 (lima) tahun kemudian, dengan alasan sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 145 sebagai berikut :
“Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ini merupakan lingkungan peradilan
 yang baru, yang  pembentukannya memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang oleh Pemerintah mengenai prasarana dan sarananya, baik materiil maupun personil. Oleh karena itu pembentukan Pengadilan di lingkunganPeradilan Tata Usaha Negara tidak dapat dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap. Setelah undang-undang ini diundangkan, dipandang perlu Pemerintah mengadakan persiapan seperlunya. Untuk mengakomodasikan hal tersebut maka penerapan Undang-Undang ini secara bertahap dalam waktu selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan diatur denganPeraturan Pemerintah”.
 Berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 145 UU No.5/1986 tersebut, setelah lima tahun kemudian terbit peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan beroperasinya PTUN di Indonesia, yaitu :
1)        Keppres No.52 Tahun 1990 Tentang Pemben-tukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang ;2)
2)        PP No.7 tahun 1991 Tentang Pelaksanaan UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3)        UU No. 1 Tahun 1991, Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta, Medan, Surabaya dan Ujung Pandang ( sekarang Makassar ). Dengan terbitnya PP No.7 Tahun 1991, menandai tonggak sejarah mulai beroperasinya PTUN di Indonesia.
c.         Fase III (2004 s.d. sekarang)
Pemerintah bersama DPR-RI melakukan revisi (perubahan) terhadap beberapa ketentuan (pasal-pasal) didalam Hukum Acara UU No.5 Tahun 1986 yang hingga saat ini telah terjadi 2 ( dua ) kali,yaitu dengan UU No.9 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 dan UU No.51 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut :
1)        Revisi Menurut UU No. 9 Tahun 2004
a)         Diadakannya Juru Sita di PTUN (pasal 39-A s/d 39-E)
b)        Perubahan rumusan tentang alasan gugatan, serta kriteria Asas-AsasUmum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dikaitkan dengan UU No.28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN
c)         Perubahan tata cara eksekusi atau pelaksanaan putusan (pasal 116 ayat 3)
d)        Adanya upaya paksa dan sanksi administratif terhadap Pejabat Tata UsahaNegara yang tidak melaksanakan putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum tetap (pasal 116 ayat 4 dan 5)
e)         Dihapuskannya perlawanan pihak ketiga terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap (ex. pasal 118 UU No.5 Tahun 1986), dsb.
2)                 Revisi Menurut UU No. 51 Tahun 2009
a)         Dibentuknya pengadilan khusus dan Hakim Ad-Hoc (Pasal 9-A).
b)        Perubahan atau penambahan tentang tata cara eksekusi dan upaya paksa terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Peratun, diajukan kepada Presiden dan lembaga  perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan ( Pasal 116 ayat 6) .
c)         Pada setiap PTUN dibentuk Pos Bantuan Hukum secara cuma-cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 144-D) . Sejalan dengan hal tersebut, berkaitan dengan adanya berbagai kendala yangdihadapi oleh PTUN, sejak tahun 2004 Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menyusun Rancangan Undang-UndangTentang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP), yang hingga saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR-RI. RUU-AP ini selain dimaksudkan untuk mengatur administrasi pemerintahan itu sendiri, juga akan berfungsi sebagai Hukum Materiil Administrasi Negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN.

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : memeriksa, memutus dan menyelesaikan  sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau Badan Hukum Perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004dan UU No.51 Tahun 2009
B.       Saran
     Peradilan Administrasi Negara,yaitu PTUN harus dipertahankan konsistensinya karena  merupakan cerminan Indonesia adalah Negara hukum sesuai amanat dalam UUD 1945 dan selalu memperbarui dan memperbaiki Peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang PTUN sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman yang semakin kompleks.



DAFTAR PUSTAKA

Titik Triwulan. 2014.Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.Jakarta : Kencana
R.Wirono.2013.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)  (edisi 3).Jakarta : Sinar Grafika
El Islamy.2012.Bahan Makalah Peradilan Tata Usaha Negara. Diakses melalui https://www.academia.edu/6052310/Bahan_Makalah_Peradilan_Tata_Usaha_Negara  pada 21 November 2015 pukul 14.00
Indra Res.2014.Makalah Peradilan Tata Usaha Negara. Diakses melalui http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html  pada 21 November 2015 pukul 14.27
Aix lds.2014.Cakupan Peradilan Administrasi Negara.Di akses melalui http://kodehukum.blogspot.co.id/2014/04/cakupan-peradilan-administrasi-negara.html pada 21 November 2015 pukul 15.12
Erindaryansyah.2011.Sejarah Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.Diakses melalui https://erindaryansyah.wordpress.com/2011/11/01/sejarah-pembentukan-peradilan-tata-usaha-negara/  pada 21 November 2015 pukul 16.00











Tidak ada komentar:

Posting Komentar