SEJARAH
PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA INDONESIA
Makalah
Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara
Dosen
Pengampu : Ristina
Yudhanti, SH, M.Hum
Disusun oleh:
Bela Alfia 2014010054
Ghufron Ali Wicaksono 2014010036
Wanda Ayu 2014010002
Ricky Putra Buana 2014010127
Damar Adi 2014010126
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BATIK
SURAKARTA
SURAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang berjudul “Sejarah Pembentukan
Peradilan Tata Usaha Indonesia”
Dalam penyusunan tugas
atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1.
Ristina
Yudhanthi,S.H, M.Hum. yang telah memberikan tugas, dan
petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas
ini.
2.
Orang tua yang telah turut membantu,
membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
3.
Teman-teman yang telah mendukung penulis
untuk segera menyelesaikan tugas ini.
Semoga materi ini dapat
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan,
khususnya bagi penulis sehingga tujuan
yang diharapkan dapat tercapai.
Surakarta,
Oktober 2015
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya, dalam lingkungan
Peradilan sebuah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan kekuasaan kehakiman
menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat). Pasal 1
ayat (3) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Salah satu syarat Negara hukum adalah perlu
adanya Peradilan Tata Usaha Negara.
Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata Usaha Negara,
maka Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999. Namun pada Tanggal 15 Januari 2004 kedua undang-undang tersebut
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian, diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 yang kemudian disahkan pada tanggal 29 Maret 2004.Bahkan,
pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara tetap
dipertahankan dan masih tetap berlaku.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian PTUN ?
2.
Bagaimana pembentukan PTUN di Indonesia ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Mengetahui pengertian PTUN
2.
Mengetahui pembentukan PTUN di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian PTUN
Peradilan
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan
keadilan (J.T.C Simorangkir dalam S.F Marbun, 2003: 30). Menurut Muchsan, SH di
dalam bukunya “Peradilan Administrasi Negara” menyatakan bahwa : Peradilan
Administrasi Negara adalah suatu badan yang mengatur tata cara penyelesaian persengketaan
antara sesama instansi administrasi Negara dan warga masyarakat, atau dapat
pula dirumuskan sebagai persengketaan intern administrasi dan persengketaan
ekstern Administrasi Negara.
Ada para
sarjana yang membedakan pengertian pengadilan dengan peradilan.Pengadilan
merupakan terjemahan dari Rechtbank atau Court maksudnya menunjuk pada badan,
wadah, lembaga atau institusi. Sedangkan peradilan merupakan terjemahan
dari Rechtspraak atau judiciary. Dimaksudkan untuk menunjuk fungsi,proses atau
cara memberikan keadilan, seperti dilakukan antara lain oleh pengadilan.Karena
itu Sudikno Mertokusumo, merumuskan pengadilan, bukan semata-matadiartikan
sebagai badan yang bertugas mengadili, tetapi juga tercakup didalamnya pengertian
yang lebih abstrak, yakni memberikan keadilan. Jadi pengertian pengadilan
kecuali tercakup didalamnya peradilan, juga mempunyai kemampuan berfungsi
memberikan keadilan. Menurut R.Subekti, R.Tjitrosoedibio dan JCT Simorangkir,
merumuskan peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara
menegakkan hukum dan keadilan. Rumusan pengertian ini tidak menunjuk kepada
badan tertentu sebagai lembaga yang secara khusus bertugas menegakkan keadilan.
Berard tugas menegakkan keadilan tidak semata-mata dilakukan oleh badan pengadilan
(badan yudikatif), sesuai teori trias politica. Dengan demikian alat
perlengkapan negara lainnya dapat diserahi tugas negara tersebut, asalkan
sesuai dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut pendapat Prayudi Atmosudirdjo, mengemukakan bahwa peradilan administrasi
negara mencakup;
1.
Peradilan
administrasi negara dalam arti luas;
2.
Peradilan
administrasi negara dalam arti sempit, yang mana terbagi menjadi 2 yaitu;
a.
Peradilan
administrasi
b.
Peradilan
adminstratif
Sedangkan menurut Rochmat Sumitro, menyatakan bahwa peradilan administrasi dalam
arti luas mencakup;
1.
Peradilan
administrasi dalam arti sempit;
2.
Peradilan
administrasi tak murni, yang dalam bidang perpajakan dibedakan lagi seperti;
a.
Ketetapan administrasi murni;
b.
Quasi peradilan (peradilan semu);
c.
Ketetapan semi administrasi; dan
d.
Semi peradilan.
Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, terdapat perbedaan, yaitu;
1.
Peradilan administrasi yang sesungguhnya atau
sebenarnya (murni/ sempit, Administratieve rechtspraak dan eigentlijke)
2.
Peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya atau
peradilan tidak murni, yang seolah-olah menyerupai peradilan (Administratieve
Beroep on eigenlijke, Administrative rechtspraak, Gesohillen beslecthing atau
Quasi rechtspraak);
Peradilan
dalam arti luas pada dasarnya mencakup 2 (dua) golongan yaitu:
1.
Peradilan administrasi murni yang sesungguhnya atau
peradilan administrative dalam arti sempit.
2.
Peradilan yang tidak sesungguhnya atau Peradilan
Administrasi Semu.
Menurut Prayudi Atmosudirjo, bahwa definisi peradilan administrasi
dalam arti luas adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan
instansi-instansi Administrasi Negara, baik yang bersifat "perkara
pidana", "perkara perdata", "perkara agama",
"perkara adat", dan perkara Administrasi negara murni/ Tata Usaha
Negara. Sedangkan peradilan negara dalam arti sempit adalah peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara administrasi saja.
Suatu perkara administrasi negara (murni) adalah suatu
perkara yang tidak mengandung "pelanggaran hukum" (pidana/perdata),
melainkan suatu "persengketaan" atau konflik yang berkisar atau
berpangkal pada suatu yang mengenai interprestasi daripada suatu pasal atau
ketentuan undang-undang dalam arti luas.
Unsur- unsur Peradilan:
1.
Adanya suatu hukum yang abstrak yang
mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan
2.
Adanya suatu perselisihan hukum yang
konkrit
3.
Adanya sekurang- kurangnya dua pihak
4.
Adanya suatu aparatur peradilan yang
berwenang memutuskan perselisihan.
Agar suatu
peradilan dapat merupakan suatu peradilan administrasi, maka disamping unsure- unsure di
atas dipenuhi, harus ada unsure- unsure lainnya, yakni:
1.
Bahwa salah satu pihak yang
berselisih harus administrasi yang menjadi terikat karena perbuatan salah
seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
2.
Diberlakukannya “hukum public” atau
hukum administrasi terhadap persoalan yang diajukan.
Sebagaimana diketahui bahwa
peradilan administrasi dapat dibagi atas:
1.
Peradilan Administrasi Murni
Adalah suatu
peradilan administrasi yang memenuhi syarat- syarat seperti yang diuraikan di
atas yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pengadilan biasa.
Ciri khas
suatu peradilan murni ialah adanya suatu hubungan segitiga antara para pihak
dan badan atau pejabat yang mengadili.Badan atau pejabat yang mengadili perkara
ini merupakan badan atau pejabat “tertentu”
atau “terpisah”.
Tertentu artinya bahwa badan atau pejabat itu ditentukan oleh
UU atau peratuaran lain yang mempunyai tingkatan sama dengan suatau UU dan
diberi wewenang untuk mengadili
perselisihan administrasi, seperti peradilan pajak ditingkat banding yang
dlakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Terpisah artinya bahwa badan atau pejabat yang melakukan
peradilan itu tidak merupakan bagian dari salah satu pihak atau tidak termasuk
di bawah pengaruh salah satu pihak sehingga badan atau pejabat yang mengadili
perkara itu berada di atas para pihak.
2.
Peradilan
Administrasi tak Murni
Adalah
peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat- syarat peradilan administrasi
murni seperti tersebut di atas.
Menurut Rochmat Soemitro, bahwa unsur-unsur peradilan administrasi murni
memiliki ciri khas berupa;
a.
hubungan
segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili
b.
badan
atau pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat tertentu
dan terpisah.
c.
adanya
suatu aturan hukum yang abstrak, yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada
suatu persoalan
d.
adanya
suatu perselisihan hukum yang konkrit
e.
adanya
suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan
f.
ada
sekurang-kurangnya dua pihak
g.
peraturan-peraturan
yang harus diterapkan terletak dalam lapangan Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara.
h.
salah
satu pihak harus administrasi yang menjadi terikat, karena perbuatan salah
seorang pejabat dalam batas wewenangnya.
Menurut Sjachran Basah, bahwa peradilan sesungguhnya
memiliki unsur-unsur :
1.
adanya hukum, terutama dilingkungan hukum administrasi
negara yang diterapkan pada suatu pemerintahan.
2.
adanya sengketa hukum yang terikat, yang pada dasarnya
disebabkan oleh Ketetapan Tertulis administrasi negara.
3.
minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu
pihak harus Administrasi Negara (pejabat/badan)
4.
adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan
terpisah, yang berwenang memutuskan sengketa-sengketa secara terpisah, netral
atau tidak memihak.
5.
adanya hukum "in concreto" untuk
mempertahankan ditaatinya hukum materil.
Mr.Drs.E. Utercht dalam bukunya "Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia",
memberikan gambaran mengenai pengertian
Pengadilan Tata Usaha Negara ialah Lembaga peradialan yang (hukum administrasi, hukum pemerintahan)
menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan
para pejabat (ambtsdragers) (tata usaha negara, administrasi) melakukan
tugas mereka yang istimewa.
Menurut Prof.Dr.J.H.A.
Logemann dalam bukunya staatsrecht van Nederlands Indie,
memberikan definisi dari pengertian
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah tempat mengadili sengketayang
mengatur hubungan-hubungan hukum dengan warga masyarakat dan antara alat pemerintahan
yang satu dengan yang lainnya, serta dipertahankan dan diberi sanksi oleh
pemerintah sendiri.
Secara normatif, Pasal 4 UU NO. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, mengartikan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata
Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU
PTUN). Istilah Peradilan Tata Usaha Negara dapat disebut juga dengan Peradilan
Administrasi Negara, hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Pasal 144
UU PTUN. Pengertian-Pengertian Dasar dalam UU PTUN (Pasal 1) Tata Usaha Negara
adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Gugatan adalah
permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. Tergugat adalah Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau
badan hukum perdata. Pemahaman tehadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah
jika terlebih dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F
Marbun, setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu :
1.
Adanya suatu
instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan peraturan
perundangundangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan (S.F
Marbun, 2003: 38). Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan Tata Usaha Negara
(dibentuk dengan Kepres), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (dibentuk dengan
UU.) dan Berpuncak pada Mahkamah Agung yang diatur tersendiri Dalam UUMA.
2.
Terdapatnya
suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan kepastian hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya Sengketa Tata Usaha Negara
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh pejabat TUN.
3.
Terdapatnya
suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum. Aturan hukum tersebut
terletak di lingkungan Hukum Administrasi Negara.
4.
Adanya
sekurang-kurangnya dua pihak (S.F. Marbun, 2003: 38). Sesuai dengan ketentuan
hukum positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN. dua pihak disini adalah Badan
atau Pejabat Buku Ajar Hukum Acara PTUN, Tata Usaha Negara yang selalu sebagai
Tergugat dan rakyat pencari keadilan (orang perorang atau badan hukum privat).
5.
Adanya hukum
formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
peraturan-peraturan lainnya.
Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
1.
Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.
2.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibukota
provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi
3.
Pengadilan Khusus, Pengadilan Pajak, berkedudukan di ibukota
Negara.
Mr.Drs.E. Utercht dalam bukunya "Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia",
memberikan gambaran mengenai pengertian
Pengadilan Tata Usaha Negara ialah Lembaga peradialan yang (hukum administrasi, hukum pemerintahan) menguji perhubungan-perhubungan hukum
istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers)
(tata usaha negara, administrasi) melakukan tugas mereka yang istimewa.
Menurut Prof.Dr.J.H.A.
Logemann dalam bukunya staatsrecht van Nederlands Indie,
memberikan definisi dari pengertian
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah tempat mengadili sengketayang
mengatur hubungan-hubungan hukum dengan warga masyarakat dan antara alat
pemerintahan yang satu dengan yang lainnya, serta dipertahankan dan diberi
sanksi oleh pemerintah sendiri.
B.
Pembentukan
PTUN di Indonesia
1.
Zaman
Penjajahan Belanda
Pada
zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu
lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan
menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara
(TUN ) pada waktu itu dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN ),
yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun
hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo (
Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke
Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134
ayat (1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan hanya dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pula pasal yang menyinggung masalah
itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO .
Inti
dari kedua psal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut
sifatnya atau berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan
kekuasaan administrasi, tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah
lebih lanjut kedua pasal tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan
Peradilan TUN . Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa
administrasi Negara ( TUN ) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di
Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar hokum atau yang menentukan
batas-batas kewenangan Peradilan administrasi Negara di Indonesia, tetapi
hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah ditetapkan termasuk
dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi kewenangan mereka.
Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal
dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.ketentuan Pasal 134 ayat 1 IS dan
Pasal 2 RO :
a.
Peradilan terhadap
perselisihan-perselisihan hanya dilakukan oleh badan yang diserahi kekuasaan
kehakiman.
b.
Peradilan oleh badan-badan lain selain
badan yg diserahi kekuasaan kehakimanhanya mungkin jika hal ini diatur oleh UU.
c.
Persoalan yg menurut sifatnya atau
berdasarkan ketentuan UU termasuk dalamwewenang pertimbangan kekuasaan
administrasi tetap diadili oleh kekuasaan itu.
d.
Perselisihan wewenang antara kekuasaan
pengadilan dan kekuasaan administrasi diputuskan oleh Gubernur Jenderal.
2.
Zaman Penjajahan Jepang
Pada
Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia
Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan pemerintahan
militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih
sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan
perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan,
diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang
merupakan aturan peralihan yakni :
“Semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hokum dan undang-undang
dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi sementara waktu asal saja
tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”
Dengan
perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan
RO, yakni system banding administratif (administratief beroep)
3.
Zaman Kemerdekaan Indonesia
a. Periode Pertama UUD 1945
Konsepsi
untuk membentuk Peradilan Administrasi di Indonesia
sesungguhnya telah ada sejak
awal kemerdekaan. Berdasarkan UUD 1945,dikeluarkan UU No.19 Tahun 1948 Tentang
Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan, yang memuat dua
pasal Sejalan dengan itu pada tahun 1949 telah dibuat Rancangan Undang-Undang
(RUU) Tentang “Acara Perdata Dalam Soal Tata Pemerintahan” yang disusun oleh
Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. , atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu,
Dr.Susanto Tirtoprodjo S.H..
Namun
sebelum RUU tersebut diundangkan sudah terjadi perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi
UUD Republik Indonesia Serikat (RIS).mengenai peradilan administrasi yaitu
Pasal 66 dan Pasal 67. Menurut ketentuan tersebut, untuk memeriksa dan memutus
sengketa administrasi diserahkan kepada Pengadilan Tinggi (Umum) sebagai
peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kedua
(Terakhir).
b. Periode
UUD RIS ( 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950)
Dalam
Konstitusi RIS terdapat dua pasal yang memuat ketentuan tentang penyelesaian
sengketa administrasi (tata usaha), yakni Bab
IV Tentang Pemerintahan Bagian III Pasal
161 dan Pasal 162.
Menurut ketentuan tersebut, pemutusan tentang sengketa
tata usaha diserahkan kepada
pengadilan perdata, atau kepada alat
perlengkapan negara lain tetapi dengan jaminan yang
serupa tentang keadilan dan kebenarannya.
c. Periode
UUD Sementara 1950 ( 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959 ).
Dalam
UUDS 1950, ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa administrasi (tata usaha) dimuat
dalam Bagian III Pasal 108 dan Pasal 109, yang materi pokoknya hampir sama
dengan ketentuan Konstitusi RIS
Pasal 161 dan 162.Namun menurut Syachran
Basah (1984 : 88), Pasal 108 UUDS 1950
tersebut membuka beberapa kemungkinan penyelesaian sengketa administrasi (Tata
Usaha Negara) dilakukan melalui :
1)
Pengadilan Perdata
secara umum,
2)
Pengadilan
Perdata khusus untuk sengketa tata usaha tertentu,
3)
Badan Pemutus
untuk semua sengketa tata usaha, bukan pengadilan perdata yang dibentuk secara
istimewa,
4)
Badan Pemutus
Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara tertentu.
Dari alternatif tersebut mengarah pada pembentukan
Pengadilan Admisnistrasi (Tata Usaha Negara) yang berdiri sendiri.
4.
Zaman Berlakunya kembali UUD 1945
Periode Berlakunya Kembali UUD 1945
( 5 Juli 1959 s/d sekarang). Dalam periode ini dapat dibagi lagi menjadi tiga
fase, yaitu :
a.
Fase I (1959 s.d. 1986)
Dengan berlakunya kembali UUD 1945
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli1959, upaya pembenahan Badan
Kekuasaan Kehakiman pun mengacu kepada UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Bab
IX Pasal 24 dan Pasal 25 (lama), Lalu lahir peraturan yang berkaitan dengan
berdirinya PTUN :
1)
Pada
tahun 1960, lahir TAP MPRS No.II/MPRS/1960 yang memerintahkan agar segera
diadakan peradilan administrasi. Hal mana ditindaklanjuti oleh LPHN (Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional) dengan disusunnya konsep Naskah RUU Tentang Peradilan
Administrasi Negara pada Tahun 1960.
2)
Pada
tahun 1964, terbit UU No.19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa
peradilan administrasi merupakan salah satu bagian dalam lingkungan peradilan
Indonesia. Atas dasar itu, Menteri Kehakiman RI menerbitkan Surat Keputusan No.J.S.8/12/17 tanggal
16 Februari 1965 tentang Pembentukan Panitia Kerja Penyusun RUU Peradilan
Administrasi, yang dilakukan oleh LPHN dengan disusunnya RUU Peradilan
Administrasi pada tanggal 10 Januari 1966. Namun RUU tersebut tidak diajukan
oleh Pemerintah kepada DPR (GR) hingga terjadi perubahan pemerintahan dari Orde
Lama ke Orde Baru.
3)
Pada
masa Orde Baru, terbit UU No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang menggantikan UU No.19 Tahun 1964. Dengan lahirnya UU
No.14/1970 ini eksistensi peradilan administrasi (Tata Usaha Negara)
dikukuhkan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.14/1970 yang menyebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukanoleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun
meskipun telah diamanahkan oleh UU No.14/1970, ternyata Peradilan TUN
belum dapat segera diwujudkan. Dalam masa ini berbagai kegiatan seminar
dan penelitian telah dilakukan oleh akademisi, praktisi hukum, pejabat
dan instansi resmi.
b.
Fase II (1986 s.d. 2004)
Setelah melalui berbagai upaya dan
proses selama bertahun-tahun, pada tahun 1986 Presiden RI dengan surat No.
R.04/PU/IV/1986 tertanggal 16 April 1986 melalui Menteri Kehakiman menyampaikan
RUU PTUN kepada DPR-RI. RUU ini merupakan penyempurnaan dari RUU Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN (pasal 53ayat 2 beserta
penjelasannya)
Tahun 1986 yang kemudian dibahas oleh Pemerintah bersama
DPR di dalam Sidang Pleno dan Paripurna DPR-RI pada tanggal 29 April 1986 dan
20 Mei 1986, hingga berhasil disahkan pada tanggal 29 Desember 1986 sebagai
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Namun
demikian, meskipun UU No.5 Tahun 1986 telah diundangkan pada tanggal 29
Desember 1986, UU ini tidak serta merta diberlakukan, melainkan masih menunggu
5 (lima) tahun kemudian, dengan alasan sebagaimana disebutkan di dalam
Penjelasan Pasal 145 sebagai berikut :
“Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara ini merupakan lingkungan peradilan
yang baru, yang
pembentukannya memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang oleh
Pemerintah mengenai prasarana dan sarananya, baik materiil maupun personil.
Oleh karena itu pembentukan Pengadilan di lingkunganPeradilan Tata Usaha Negara
tidak dapat dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap. Setelah undang-undang
ini diundangkan, dipandang perlu Pemerintah mengadakan persiapan seperlunya.
Untuk mengakomodasikan hal tersebut maka penerapan Undang-Undang ini secara
bertahap dalam waktu selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan diatur denganPeraturan Pemerintah”.
Berdasarkan bunyi Penjelasan
Pasal 145 UU No.5/1986 tersebut, setelah lima tahun kemudian terbit peraturan
perundang-undangan untuk merealisasikan beroperasinya PTUN di Indonesia, yaitu
:
1)
Keppres
No.52 Tahun 1990 Tentang Pemben-tukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang,
Surabaya dan Ujung Pandang ;2)
2)
PP
No.7 tahun 1991 Tentang Pelaksanaan UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
3)
UU
No. 1 Tahun 1991, Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta, Medan,
Surabaya dan Ujung Pandang ( sekarang Makassar ). Dengan terbitnya PP No.7
Tahun 1991, menandai tonggak sejarah mulai beroperasinya PTUN di Indonesia.
c.
Fase III (2004 s.d. sekarang)
Pemerintah bersama DPR-RI melakukan revisi (perubahan)
terhadap beberapa ketentuan (pasal-pasal) didalam Hukum Acara UU No.5 Tahun
1986 yang hingga saat ini telah terjadi 2 ( dua ) kali,yaitu dengan UU No.9
Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 dan UU No.51 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober
2009, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut :
1)
Revisi Menurut UU No. 9 Tahun 2004
a)
Diadakannya
Juru Sita di PTUN (pasal 39-A s/d 39-E)
b)
Perubahan
rumusan tentang alasan gugatan, serta kriteria Asas-AsasUmum Pemerintahan Yang
Baik (AAUPB) dikaitkan dengan UU No.28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas dari KKN
c)
Perubahan
tata cara eksekusi atau pelaksanaan putusan (pasal 116 ayat 3)
d)
Adanya
upaya paksa dan sanksi administratif terhadap Pejabat Tata UsahaNegara yang
tidak melaksanakan putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum tetap (pasal
116 ayat 4 dan 5)
e)
Dihapuskannya
perlawanan pihak ketiga terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum
tetap (ex. pasal 118 UU No.5 Tahun 1986), dsb.
2)
Revisi Menurut UU No. 51 Tahun 2009
a)
Dibentuknya
pengadilan khusus dan Hakim Ad-Hoc (Pasal 9-A).
b)
Perubahan
atau penambahan tentang tata cara eksekusi dan upaya paksa terhadap Pejabat TUN
yang tidak melaksanakan putusan Peratun, diajukan kepada Presiden dan lembaga
perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan ( Pasal 116 ayat 6)
.
c)
Pada
setiap PTUN dibentuk Pos Bantuan Hukum secara cuma-cuma bagi pencari keadilan
yang tidak mampu (Pasal 144-D) . Sejalan dengan hal tersebut, berkaitan dengan
adanya berbagai kendala yangdihadapi oleh PTUN, sejak tahun 2004 Pemerintah
melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menyusun Rancangan
Undang-UndangTentang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP), yang hingga saat ini
masih dalam proses pembahasan di DPR-RI. RUU-AP ini selain dimaksudkan untuk
mengatur administrasi pemerintahan itu sendiri, juga akan berfungsi sebagai
Hukum Materiil Administrasi Negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Peradilan Tata
Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas
dan wewenang : memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang
atau Badan Hukum Perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN
(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha
Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga
negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis
(judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan
administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan
hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986
Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004dan UU
No.51 Tahun 2009
B.
Saran
Peradilan Administrasi Negara,yaitu
PTUN harus dipertahankan konsistensinya karena merupakan
cerminan Indonesia adalah Negara hukum sesuai amanat dalam UUD 1945 dan selalu
memperbarui dan memperbaiki Peraturan perundang – undangan yang mengatur
tentang PTUN sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman yang semakin kompleks.
DAFTAR
PUSTAKA
Titik
Triwulan. 2014.Hukum Tata Usaha Negara
Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.Jakarta : Kencana
R.Wirono.2013.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) (edisi 3).Jakarta : Sinar
Grafika
El
Islamy.2012.Bahan Makalah Peradilan Tata
Usaha Negara. Diakses melalui
https://www.academia.edu/6052310/Bahan_Makalah_Peradilan_Tata_Usaha_Negara pada 21 November 2015 pukul 14.00
Indra
Res.2014.Makalah Peradilan Tata Usaha
Negara. Diakses melalui
http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html pada 21 November 2015 pukul 14.27
Aix
lds.2014.Cakupan Peradilan Administrasi
Negara.Di akses melalui
http://kodehukum.blogspot.co.id/2014/04/cakupan-peradilan-administrasi-negara.html
pada 21 November 2015 pukul 15.12
Erindaryansyah.2011.Sejarah Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara.Diakses melalui https://erindaryansyah.wordpress.com/2011/11/01/sejarah-pembentukan-peradilan-tata-usaha-negara/ pada 21 November 2015 pukul 16.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar